Malam itu, Ardi duduk sendirian di kamar kosnya. Tumpukan buku kuliah berserakan, catatan skripsi terbengkalai, dan layar laptop hanya menampilkan halaman kosong. Ia menatap hampa.
“Untuk apa semua ini? Hidup cuma bikin capek,” gumamnya lirih.
Hari-hari belakangan begitu berat. Ia merasa gagal dalam segala hal: kuliah berantakan, pekerjaan paruh waktu tak cukup bayar biaya hidup, bahkan hubungannya dengan keluarga pun renggang karena ia jarang pulang. Ardi merasa sendirian di dunia.
Tiba-tiba, sesuatu menarik perhatiannya. Di bawah pintu kamar, terselip sebuah amplop putih. Padahal, ia yakin tak ada seorang pun yang mampir malam itu. Dengan ragu, ia mengambil dan membukanya.
Tulisan tangan rapi tertera di kertas:
“Untuk Ardi yang sedang hampir menyerah, Jangan berhenti. Aku tahu hari-hari ini terasa gelap, tapi kelak kau akan bersyukur tidak menyerah. Percayalah, semua sakit dan letihmu akan jadi pondasi hidup yang lebih kokoh. Aku, dua puluh tahun dari masa depan.”
Ardi membeku. Jantungnya berdetak kencang.
“Surat dari… aku sendiri? Dua puluh tahun ke depan?” bisiknya.
Ia membaca ulang berulang kali. Ada coretan kecil di bawah tanda tangan: “Jangan tinggalkan skripsimu. Selesaikan, walau pelan. Itu pintu pertama dari banyak hal baik.”
Ardi tak tahu harus tertawa atau menangis. Separuh dirinya ingin menganggap surat itu lelucon aneh. Tapi ada bagian lain di hatinya yang tiba-tiba merasa hangat, seolah benar-benar diberi harapan oleh versi dirinya yang lebih dewasa.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ardi menyalakan kembali laptopnya. Ia mulai menulis, sedikit demi sedikit.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Surat itu selalu ia simpan di saku buku catatannya. Setiap kali rasa malas dan putus asa datang, ia membuka dan membacanya lagi. Entah mengapa, semangatnya kembali.
Hingga akhirnya, Ardi berhasil menyelesaikan skripsinya, meraih gelar sarjana, dan mendapatkan pekerjaan pertama. Semua dimulai dari selembar surat misterius itu.
Bertahun-tahun kemudian, di usianya yang matang, Ardi tersenyum ketika melihat seorang mahasiswa muda duduk putus asa di sudut kafe. Ia menulis sesuatu di selembar kertas, lalu dengan diam-diam menyelipkannya ke tas mahasiswa itu.
Tulisan tangannya masih sama:
“Untuk diriku yang sedang hampir menyerah, Jangan berhenti. Kau akan berterima kasih karena pernah bertahan.”
Oleh : Hendra Dedi Syahbudi