PEKANBARU, radarlentera.com – Gelombang kemarahan rakyat menggema di depan Kantor Gubernur Riau, Senin (21/7/2025). Ribuan warga dari kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) memadati halaman kantor pemerintahan, menagih janji relokasi yang hingga kini tak kunjung ditepati.
Tua, muda, laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak ikut dalam aksi damai yang dipenuhi semangat perjuangan dan kepedihan. Mereka datang dengan satu suara: menolak penggusuran paksa dan menuntut kejelasan masa depan.
Berbekal spanduk dan poster bernada pilu dan protes tajam, massa mengungkapkan keresahan mereka. Beberapa tulisan yang mencuri perhatian antara lain:
• “Lebih baik dikubur hidup-hidup daripada digusur,”
• “Pak Prabowo, dengarkan jeritan rakyatmu ini,”
• “Gajah dilindungi, manusia dilupakan.”
Orasi demi orasi menggema, mengaduk nurani. Salah satu perwakilan massa berteriak lantang:
“Kami bukan perambah hutan! Kami petani kecil yang membangun hidup dari tanah ini dengan darah dan air mata!”
Mereka menyebut bahwa tuduhan sebagai perusak hutan hanyalah labelisasi sepihak yang menyingkirkan sisi kemanusiaan. “Kalau memang ada yang salah, usut dari atas. Jangan kami yang terus dikorbankan,” ujar seorang orator dengan suara bergetar.
Tak hanya soal tempat tinggal, nasib pendidikan anak-anak juga menjadi sorotan. Seorang pelajar mengangkat poster bertuliskan: “Pendidikan tak boleh dikorbankan demi proyek alam yang salah arah.”
Meski demonstrasi berlangsung damai, suasana tetap dipenuhi emosi dan tekanan moral yang kuat. Massa berulang kali menyerukan agar Gubernur Riau, Abdul Wahid, menemui mereka secara langsung.
“Pak Gubernur, tolong jangan diam! Kami hanya ingin hidup layak dan damai!” teriak massa dengan penuh harap.
Sebagai respons awal, belasan perwakilan aksi akhirnya diterima untuk berdialog dengan pejabat pemerintah di ruang rapat Kantor Gubernur. Hadir dalam pertemuan itu antara lain Kepala Dinas Perkebunan Syahrial Abdi, Bupati Pelalawan, dan perwakilan dari Polda Riau.
Hingga berita ini diturunkan, proses mediasi masih berlangsung. Ribuan warga yang tersisa tetap bertahan di luar gedung, menanti hasil pertemuan yang bisa menentukan arah hidup mereka selanjutnya.